Melihat Aktivitas Masyarakat di Tengah Serbuan Pekerja Asal Tiongkok

Penulis : Dedi Finafiskar Serbuan tenaga kerja asing asal Tiongkok di Indonesia cukup dirasakan masyarakat Morosi Kabupaten Konawe, Sula...

Penulis : Dedi Finafiskar

Serbuan tenaga kerja asing asal Tiongkok di Indonesia cukup dirasakan masyarakat Morosi Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Pembangunan mega industri pemurnian bijih besi di Morosi mendatangkan pekerja dari Tiongkok. Bagaimana masyarakat Morosi beradaptasi dengan banyaknya tenaga kerja asing di daerah itu

Kecamatan Morosi, mulai populer sejak Kabupaten Konawe ditetapkan sebagai kawasan mega industri smelter (pabrik pemurnian bijih besi) yang diprogramkan pemerintah Pusat. Banyak warga Tingkok keluar masuk di daerah itu. Warga Morosi harus hidup berdampingan dengan mereka, adaptasi pun diperlukan oleh mereka.
Perubahan paling signifikan yang terlihat di daerah itu adalah rumah makan. Sebelumnya, sulit mendapatkan rumah makan di kawasan ini. Belakangan, puluhan Warung makan yang berjejer di seputaran mega industri Konawe, di Kecamatan Morosi. Namun, sangat sulit menemukan rumah makan yang menyajikan menu masakan sinonggi. Menu yang disiapkan lebih banyak masakan China.
Dentuman alunan musik yang terdengar dari soundsystem setiap warung makan terasa asing terdengar. Bukannya lagu Sambalado yang dinyanyikan Ayu Ting Ting atau artis-artis Indonesia lainnya. Melainkan lagu-lagu berbahasa Mandarin. Memang terasa asik terdengar tapi alur lagunya tidak dimengerti warga setempat.
Kebiasaan memutar lagu-lagu Tiongkok merupakan senjata yang dipakai oleh para pengelola warung makan untuk menarik minat pelanggan. Setiap pukul 16.00 wita, satu persatu warga Tionghoa yang berada di mega industri Morosi akan berdatangan ke warung-warung makan itu. Warung makan yang bisa memutar lagu terbaik untuk pelanggannya, tempat itulah yang akan ramai dikunjungi.
Rupanya, para pengelola warung makan tidak hanya menyediakan lagu-lagu Mandarin, tapi juga menyajikan menu spesial asal Negeri Tirai Bambu. Seperti di Warung Makan Nan Xiang dengan menu andalannya adalah Xiao Long Bao atau semacam pangsit yang berisi ayam dan udang. Masakannya berisi kaldu yang lezat dengan harga Rp 50 ribu per porsi. Selain itu, ada juga berbagai macam menu lainnya seperti sup labu putih dengan saus daging dan telur kepiting, sup tulang ikan dengan harga sekitar Rp 40 ribuan per porsi.
Ramainya pengunjung di warung makan itu hanya sore dan malam. Pekerja asal Tiongkok itu baru bisa berkeliaran pada pukul 16.00 wita. Pada jam tersebut, satu persatu pekerja mulai keluar dari area pembangunan smelter menuju warung-warung makan yang lokasinya sekitar 200 meter dari tempat kerja mereka. WNA ini ada keluar sendiri-sendiri, ada juga yang berkelompok untuk mencicipi hidangan pada warung makan favoritnya.
“Pada sore hari, mereka akan bersantai di warung-warung makan. Selain makan, mereka juga sering memesan kopi saja atau jus. Kalau pembayarannya pakai rupiah. Sepertinya mereka sudah mulai mengetahui nilai nominal mata uang kita. Kadang juga mereka ditemani penerjemah atau rekan mereka yang sedikit tahu bahasa Indonesia. Kami juga biasa belajar memahami bahasa mereka,” ungkap Laila, salah seorang pegelola warung makan di Morosi.
Wanita 37 tahun itu mengaku baru membuka warung makan lima bulan lalu. Ia berinisitaif mendirikan warung makan China karena melihat banyaknya warga asing yang datang bekerja di mega industri. Apalagi jika proyek ini benar-benar berjalan, maka volume pekerja asing akan semakin bertambah. Bisnis makanan akan memberikan keuntungan yang cukup lumayan.
“Warung makannya halal. Selain pekerja China, pekerja lokal juga sering berkunjung. Dan bahan-bahan makanannya juga kita peroleh dari sini, serta dibeli dari Kota Kendari. Kalau masalah untung ruginya, jelas kita yang buka usaha ini pasti dapat untung. Kadang kami mendapatkan keuntungan jutaan rupiah sebulan. Tergantung banyaknya pelanggan,” jelasnya.
Kecamatan  Morosi terbentuk  pada tahun 2003 dari pemekaran Kecamatan Sampara. Ibu kota kecamatan yakni Kelurahan Besu. Saat ini kondisi Kecamatan Morosi terdiri dari 10 desa, yakni Desa Mendikonu, Wonua Morini, Besu, Tanggobu, Paku Jaya, Tondowatu, Morosi, Paku, Puuruy, dan Porara. Untuk letak geografisnya terletak pada 03 176;53.849′ LS dan 122 176;27.746′ BT. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sawa, Konawe Utara. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bondoala. Sebelah  selatan  berbatasan dengan Kecamatan Sampara. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kapoiala.
Daerah ini masih bisa dikatakan sebagai daerah tertinggal, sebab untuk sektor pendidikannya sarana dan prasarana belum memadai, untuk gedung Sekolah Dasar berjumlah 7 unit dengan 56 orang guru baik PNS maupun GTT. Jumlah muridnya 769 orang. Untuk tingkat SMP hanya terdapat 3 unit sekolah dengan guru 31 orang, dan 287 siswa. Untuk bangunan TK dan SMA belum tersedia, kebanyakan orangtua masih menyekolahkan anaknya di Kecamatan Sampara, dan Bondoala.
Sejak dimulainya tahapan pembangunan kawasan mega industri kini menimbulkan dampak negatif terhadap warga di sekitarnya. Beberapa warga kerap terserang inpeksi saluran pernapasan atas (ISPA) akibat meningkatnya aktivitas di kawasan tersebut, terutama kendaraan roda empat maupun kendaraan berat lainnya yang siang malam lalu lalang mengangkut material. Banyak debu yang berterbangan hingga ke pemukiman warga.
Salah seorang warga Desa Morosi, Tina (49) mengaku sejak digenjotnya pembangunan kawasan mega industri udara di sekitar tempat tinggalnya sudah tidak sehat lagi. Itu diakibatkan banyaknya debu beterbangan akibat kendaraan yang keluar masuk mengambil material, terlebih lagi jalan yang dilewati belum diaspal. Setiap musim kemarau banyak debu yang beterbangan dan setiap musim hujan, jalan selalu becek. “Pada musim kemarau, kami banyak terserang ispa. Pada musim hujan, jalan yang kita lalui sangat becek, rusak, banyak kendaraan akan antri. Jika laju, kerap terjadi kecelakaan karena jalannya licin,” ungkap Tina.
Kehidupan warga di Kecamatan Morosi hanya mengantungkan pada hasil tambak dan petanian. Mayoritas warga memilih membudidayakan ikan bandeng dan kepiting. “Kami sehari-hari hanya mengurusi tambak kami, tapi setiap enam bulan sekali setelah musim panen ikan, area tambak kami akan berubah fungssi lahan menjadi area persawahan, karena debit airnya selalu berubah-ubah dari air tawar menjadi air payau,” jelas Alimudin (48) warga Desa Porara.
Warga di Morosi sedikit bersyukur karena di daerah itu sudah dialiri listrik, dengan adanya tenaga listrik, segala aktivitas kegiatan sehari-hari dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Pembangunan infrastruktur listrik menjadi harapan masyarakat. Pada tahun 2015 seluruh desa/kelurahan di Kecamatan Morosi sudah terjangkau jaringan listrik PLN, meskipun belum seluruh rumah tangga dapat menggunakan listrik PLN. Rumah tangga yang menggunakan listrik PLN sebagai sumber penerangan sebanyak 550 rumah tangga. Sedangkan sisanya menggunakan listrik non PLN sebanyak 49 sambungan rumah tangga

Related

FICTURE 6164582685827361282

Posting Komentar

emo-but-icon

Hot in week

Recent

http://blognyadhedhykp.blogspot.com/2015/03/tracking-climbing-dan-caving-di-sawapudo.html

Comments

http://blognyadhedhykp.blogspot.com/2015/03/tracking-climbing-dan-caving-di-sawapudo.html

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item