Tracking, Climbing dan Caving di Sawapudo

Penulis : Dedi Finafiskar            Sulawesi Tenggara sebenarnya dilimpahi banyak destinasi melepas penat, dengan atau tanpa mengeluarkan...


Penulis : Dedi Finafiskar
           Sulawesi Tenggara sebenarnya dilimpahi banyak destinasi melepas penat, dengan atau tanpa mengeluarkan budget besar. Di tepi Kota Kendari yang masuk dalam teritori Kabupaten Konawe, ada banyak alternatif wisata yang bisa menjadi pilihan. Jika bosan berenang, snorkeling hingga dive atau memancing di perairan, maka cara refresing lainnya yang bisa dilakoni adalah panjat tebing (rock climbing) karst berbentuk segi tiga dengan dinding tak ditumbuhi lumut dan rumput, susur goa (caving) atau sekadar tracking.
        Lokasinya, ada di Desa Sawapudo, tak begitu jauh dari Pantai Toronipa. Juga terdapat pantai di sekitarnya, dan 50 meter disebelahnya menant-ang tebing menjulang sekitar 45 meter. Ke kiri, ada akses menuju goa pencipta gelap abadi jika tanpa bantuan penerangan.
        Di zona itu terdapat stalakmit (kerucut karang kapur yang muncul dari permukaan) terbesar yang masih aktif menjadi “tiang” gua. Penghuninya, kelelawar dan sebagian hewan melata. Masuk lebih ke dalam, akan membawa kita menikmati dolina (danau yang terjadi di cekungan tanah kapur yang kedap air). Kita dapat berenang, snorkeling ataupun main air sesukanya. Zona di Desa Sawapudo itu kini menjadi rujukan belajar, penelitian dan pemetaan oleh kelompok Pecinta Alam karena dianggap memadai untuk mendalami kemampuan. “Tempatnya dapat dijangkau dan fasilitasnya juga sudah sangat memadai, sehingga tempat tersebut menjadi tujuan favorit bagi pecinta alam,” kata Ketua Umum KPA Kompas Konawe, Mange Sangiawita.
        Soal siapa yang pertamakali menemukan kawasan “bermain ekstrim” itu, masih menjadi perdebatan. Versi pertama disebutkan, sekitar beberapa tahun lalu kelompok Mahacala Unhalu menemukan tempat tersebut saat melakukan kegiatan ekspedisi dari arah Toli-toli dan mengklaim sebagai pihak pertama yang menginjakkan kaki di titik itu. Namun cerita lain, Mapala Unsultra-lah yang membuka akses ke lokasi itu saat melakukan latihan gabungan ditandai dengan palang masuk kawasan bertulis “Selamat Datang di Tebing Sawapudo” yang dibawahnya terdapat nama Mapala Unsultra.         
        Di awal-awal temuan sekitar tahun 2008, di sekitar tebing, para penambang batu Desa Sawapudo, Kecamatan Soropia sempat dibuat geger dengan temuan tengkorak dan tulang belulang serta keramik-keramik yang kini hanya menyisakan serpihan di salah satu tebing dan gua kecil, paling depan. Tebing yang dinamakan Nilangge (dalam bahasa pribumi Tolaki bermakna “misterius” atau “maya”) itu pun dianggap keramat dan diyakini menjadi tempat pembuangan mayat massal masa lalu. Dari beberapa pengakuan, Tea adalah tetua di perkampungan yang dihuni sejak puluhan tahun tersebut. Sementara gua yang menjadi “pusat” kunjungan di kawasan itu dinamakan Guano.
         Pemberian “label” tersebut karena masyarakat setempat menjadikan lubang besar itu sebagai zona mencari nafkah dengan mengumpul-kan kotoran puluhan bah-kan ratusan ribu kelelawar sejak bertahun-tahun lalu. Sepanjang perjalanan waktu, mengendaplah berton-ton kotoran hewan tersebut hingga mengeras dan menjadi lapisan setebal satu hingga dua meter memenuhi lantai goa. Guano yang berwarna coklat kehitaman dan telah menjadi fosil itu setiap hari dikeruk untuk dijual sebagai pupuk organik. Pintu masuk menuju dalam goa bertipe vertikal dan horizontal itu harus menuruni kedalaman beberapa meter dengan single rope technique (teknik menelusuri dengan menggunakan satu tali sebagai lintasan). Setelah itu, penelusuran sekitar 50 meter menuju lokasi tengah goa semakin jalurnya semakin menantang karena terdapat batu-batu cadas di sekelilingnya, orang mesti berjalan menunduk.
        Bahkan, di salah satu bagian, orang harus merayap melewati celah yang hanya berdiameter lebih kurang 50 sentimeter. “Anehnya, seberapa besar pun ukuran tubuh yang melintasi, pasti bisa masuk juga,” kata Arwan GS, Senior Mapala Un-sultra, pada satu kunjungan ke gua itu, beberapa waktu lalu.
         Keindahan sesungguhnya ada di ruang itu. Ornamen-ornamen dari CaCo2 (penambahan batu gamping) plus Co2 (karbon dioksida) yang menguap dit-ambah H2O (air) yang menetes membentuk gourdam seperti menyerupai bunga mawar, stalagtit, stalagmit, canopi, mutiara dalam goa (sering menghasilkan cahaya indah).
        “Sungguh luar biasa ! Siapa bilang keinda-han hanya bisa dilihat di permukaan saja. Justru di bawah tanah banyak keindahan yang akan tersembunyi bila kita tidak menelusurinya,” kagun Man, sapaan Mange.
        Menurutnya jika saja tempat tersebut dijadikan sebagai destinasi wisata, mungkin akan lebih bermanfaat kedepannya. Pentolan Pencinta Alam Mahapala Unilaki, Israjuddin juga berpendapat sama. “Objek ini masih sangat alami, jika benar-benar dijadikan sebagi tempat wisata maka akan memberikan tambahan pengetahuan bagi seluruh kalangan,” harapnya.
       Gagasan itu bukannya sekadar wacana. Sebab ide tersebut sudah pernah dilontarkan ke pihak pemerintah setempat, namun sampai kini belum mendapat respon. Saat itu, sekitar tahun 2011 dan awal tahun 2012 lalu, tebing Sawapudo pernah ramai dikunjung dari berbagai daerah saat diadakan kejuaraan panjat tebing.        Namun pemerintah belum juga tergerak untuk berbuat. Para pencinta alam dari Mapala Unsultra sendiri begitu antusias menjadi guide dadakan bagi pelancong yang ingin berwisata alternatif seperti panjat tebing dan susur gua yang menantang nyali. Karena Tuhan bersama orang-orang pemberani. (*)

Related

WISATA 2128212713239713420

Posting Komentar

emo-but-icon

Hot in week

Recent

http://blognyadhedhykp.blogspot.com/2015/03/tracking-climbing-dan-caving-di-sawapudo.html

Comments

http://blognyadhedhykp.blogspot.com/2015/03/tracking-climbing-dan-caving-di-sawapudo.html

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item