Melihat Kondisi Daerah Terisolir Kecamatan Routa, Konawe

potensi pertanian di Routa sangat melimpah, namun sayangnya hingga kini warga meresa masih di anak tirikan oleh pemda Konawe. Foto; Dedy ...


potensi pertanian di Routa sangat melimpah, namun sayangnya hingga kini warga meresa masih di anak tirikan oleh pemda Konawe. Foto; Dedy

    Kecamatan Routa merupakan daerah terjauh yang ada di Kabupaten Konawe, Karena untuk menjangkau tempat tersebut membutuhkan waktu berjam-jam. Tapi meski demikian, Routa menjadi salah satu pilar Kabupaten Konawe, karena di daerah tersebut menyimpan sejumlah kekayaaan alam seperti hasil pertambangan dan pertanian, hal ini menjadi salah satu alasan Pemerintah Daerah Konawe enggan melepas daerah yang dikenal dengan tanah merah itu ke Kabupaten Konawe utara.


Dedi Finafiskar
    Kecamatan Routa merupakan satu kesatuan administrasi kecil (Kecamatan) di Kabupaten Konawe, jarak tempuh ke daerah bersangkutan hanya mengandalkan jalur darat. Memang cukup jauh dari pusat pemerintahan di Kota Unaaha, sehingga perlu waktu sehari penuh. Kira-kira jarak tempuhnya sekitar 200 kilo meter. Untuk menjangkau Kecamatan Routa harus membutuhkan tenaga ekstra untuk mencapainya, betapa tidak daerah tersebut bisa dikatakan daerah terjauh yang ada di Kabupaten Konawe, sebab untuk menginjakkan kaki di daerah tanah merah itu harus melalui Kabupaten Konawe utara, bahkan bisa menggunakan alternatif lainnya melewati tanah bersapal di Kolaka Utara.
    Bagi para Pegawai Negeri Sipil (PNS) tugas di Kecamatan Routa merupakan hal yang paling menakutkan. Karena letak geografis perkampungan, infrastruktur jalan dan jembatan, listrik dan jaringan telekomunikasi belum memadai  menjadi alasan klise. Sehingga banyak PNS menolak mengabdikan diri di kampung terisolir ini.
    Routa ibarat lembah yang disulap menjadi perkampungan, disebelah kiri dan kanan diapit oleh pegunungan, bukit Utara berbatasan langsung Sulawesi  Selatan (Sulsel),  sudut Barat berbatasan Sulawesi Tengah (Sulteng), di balik pegunungan bagian Barat, Kecamatan Latoma (Konawe), sebelah Timur Konawe Utara (Konut).
    Inormasinya, Kampung Routa sejak puluhan tahun silam telah dihuni oleh orang pedalaman yang moyoritasnya suku Tolaki yang menyelamatkan diri pada zaman penjajahan. Namun saat ini, Kampung tersebut sudah mulai dihuni dari berbagai suku diantaranya Makassar, dan Toraja. ceritanya, kedatangan orang Makassar dan Toraja di Tanah Tolaki untuk mencari damar karena saat itu Konawe dikenal dengan potensi alamnya, sehingga banyak warga Makssar memutuskan bermukim di Routa.
    Camat Routa, Lapanggili menjelaskan, Kec Routa dihuni beberapa suku yakni Tolaki, Bugis, Toraja dan Luwu. Sesuai data  pemerintah 2015 ini penduduknya berjumlah 700 KK. Meski masyarakatnya heterogen, namun hubungan sosial masyarakatnya adaftatif. "Penyesuaian terhadap lingkungan sehingga saling menguasai budaya dan bahasa, sehingga warga yang disini saling mengenal satu sama lain meskipun berbeda suku," jelasnya
    Bermigrasinya para pemukim ini membuat pertumbuhan penduduk dan perkampungan cukup pesat. Atas Perkembangan sosial dan demografi berhasil membentuk daerah administrasi yang otonom di bawah naungan Pemerintah Daerah Konawe,  dengan jumlah satu kelurahan dan delapan desa binaan yakni Kelurahan Routa, Desa Tirawonua, Parudongka, Tanggola, Puwiwiwrano, Walandawe, Lalomeui dan Wiau. "warga yang bermukim di Routa merupakan pekerja keras. Sehingga hasil komoditas dari sektor perkebunan, seperti kakao, lada dan ternak menjadi andalan penghasilan masyarakat setempat sekarang ini,"lanjut Camat
    Potensi perkebunan di Routa sangat besar, sub sektor pertanian yang paling diandalkan tanaman komoditas lada dan kako. Tetapi hasil produksi pertanian sulit dipasarkan karena kendala akses mobilisasi yang belum memadai. Lahan perkebunan lada yang diusahakan masyarakat dan sudah mulai produksi seluas 5000 hektar. Dan ini belum termasuk 2000 hektare yang masih dalam masa pemeliharaan. Bahkan setiap kali masa panen hasil pertanian di bidang usaha perkebunan lada sebesar Rp 2 miliar. Bisa dibilang pendapatan para petani yang memiliki kebun lada 2000 pohon saja bisa memetik hasil Rp 120 juta, dengan pendapatan perbulan Rp10 juta. Namun sayangnya, besarnya hasil produksi pertanian di Kecamatan Routa justru berputar di daerah tetangga seperti Sulteng dan Sulsel.
    Kedala para petani bukan saja soal pemasaran, tetapi juga pemeiliharaan tanaman tersebut. Pupuk yang paling dibutuhkan, tetapi sulit diperoleh. Para petani harus bekerjasama dahulu oleh para tengkulak. Sistemnya para pemodal ini menditribusi sesuai permintaan petani.  pada saat panen harga pupuk barulah dibayar dengan memotong dari hasil produksinya nanti. Ini cukup memberatkan masyarakat karena sekitar 3/4 hasil pertanian itu hanya untuk pupuk. Mekanisme pasar ini sekaligus mengikat para petani untuk tidak menjual kepada tengkulak lain.
    "Tidak hanya lada, warga juga pernah mengusahakan tanaman Kakao namun hasil tidak terlalu memusakan, sehingga warga lebih cenderung pada tanaman lada. Namun masih ada 500 hektar kakao yang masih tersisa, serta sawah 50 hektar. Tapi usaha sawah kurang diminati untuk dikembangkan. Hasil produksi tidak dijual, melainkan untuk kebutuhan sehari-hari," jelas Camat Routa
    Kepala BP4k Konawe Muh. Akbar mengau sangat prihatin hasil perkebunan Routa dinikmati daerah lain, menurutnya hal ini dikarenakan kurangnya keterpaduan antardinas. Sehingga potensi alam di Kecamatan Routa kurang maksimal. Padahal aset perkebunan di daerah ini begitu besar jika dikelola secara terkoordinasi. Misalnya Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) harusnya menempatkan petugasnya di kecamatan khusus untuk menarik pajak dan retribusi hasil bumi utamanya kepada para tengkulak. "Begitupula dengan para petani. Supaya hasil perkebunannya bisa maksimal perlu tenaga konsultan yang sesuai dengan disiplin ilmu pertanian dan perkebunan untuk mendamping petani," jelasnya
    Dari hasil pantau para penyuluh, sistem pola bercocok tanam para petani Routa ada kerawanan. Sistem tanam selama ini , misalnya lada, masyarakat hanya berdasarkan noliks ilmu alam, bertanya dan melihat dengan pola yang diistilahkannya sistem tanam teras kering. Mengandalkan kemeringan gunung. Sehingga air tidak menetap. "Mungkin sekarang ini tanaman ini masih tumbuh bagus. Karena rata-rata usia tanamanya masih produktif. Tetapi kalau musim kemarau panjang ini berbahaya. Sehingga petani perlu mengubah pola tanam ini. Dengan sistem lubang teras bangku. Karena air hujan turun masuk ke lubang, sehingga gampang diserap oleh tanaman tersebut. Dalam sistem pemupukan juga petani banyak yang menggunakan pupuk kandang yang lebih mudah didapatkan, seperti kotoran sapi dan kerbau, dimana pupuk kandang tersebut langsung digemburkan di sekitar tanaman lada. Padahal suatu saat akan menjadi sumber penyakit. Jamur akan mudah tumbuh dan mematikan tanaman di sekitarnya, bahkan parahnya, kata dia, wabah tumbuhan akan terus menyebar ke tanaman lainnya," katanya
    Kurangnya perhatian Pemerintah Daerah didaerah tersebut membuat beberapa masyarakat mengganggap perlu di Kec Routa harus memisahkan dari Kabupaten Induk. Dalam kunjungan seluruh SKPD di Routa beberapa waktu lalu warga menyampaikan beberapa keluhan. Bahar, Tokoh Pemuda Kec Routa mengatakan jika selama ini wilayah yang kaya akan SDA tidak pernah diperhatikan Pemda maupun provinsi, hal ini dapat dilihat dari inprastuktur penunjang yang kurang memadai.
    "Kalau memang pemerintah sudah tidak sanggup mengurus Kecamatan Routa, karena mungkin jauh dari pusat pemerintahan, silahkan dilepas saja, Sulawesi Selatan (sulsel) siap menerima kecamatan Routa, apalagi selama ini perut kami sangat berhubungan dengan Sulsel, mulai dari hasil panen petani sampai kebutuhan masyarakat kami dapatkan dari Sulsel," kesalnya
    Lanjut Bahar, Routa memiliki banyak SDA yang sangat diminati para investor dari manapun, seperti pertambagan, pertanian, serta potensi-potensi lain yang dimiliki wilayah tersebut. Namun selama ini Pemda hanya datang dan mengeruk untuk mendapatkan keuntungan. "Sedangkan akses jalan saja itu dikerjakan masyarakat secara swadaya tanpa ada bantuan sedikitpun dari pemerintah, seharusnya jalan kami sudah bagus karena hasil dari perut bumi Routa itu sendiri sudah banyak memasukan PAD untuk Konawe, namun nyatanya masyarakat sendiri yang berinisiatif untuk membuat jalan, agar wilayah kami bisa di akses melalui jalur darat," ujarnya.
    Selain itu, pelayanan kesehatan juga sangat minim karena tidak adanya mobil operasional sehingga pasien yang gawat harus di rujuk di provinsi tetangga untuk mendapatkan perawatan medis. Belum lagi pendidikan yang juga masih kurang memadai, wilayah tersebut hanya memiliki tiga sekolah dasar (SD) dan satu sekolah menegah pertama (SMP). Ironisnya, satu diantaranya yakni SD Baru Bela hanya memiliki satu tenaga pengajar yang juga menjabat sebagai kepala sekolah, sementara jumlah siswanya mencapai 67 siswa.
    "Ada guru honor tetapi sudah berhenti, karena tidak pernah menerima upah, terpaksa orang tua siswa harus membayar iuran sebesar Rp.30.000 setiap bulannya untuk membayar guru honor, agar anak-anak kami bisa mendapatkan pendidikan yang layak," lanjut Rusdin, warga lainnya.
    Kabaghumas Pemda Konawe mengatakan, jika saat ini Pemda tengah merencanakan pembangunan infrastruktur di wilayah itu, hanya saja masyarakat perlu bersabar, sebab kepemimpinan Kery Syaiful Konggoasa yang masih terbilang baru, sehingga belum bisa mengakomodir seluruh keluhan yang ada. "Untuk tahun ini, beberapa instansi akan membangun kantor perwakilan seperti BP4K, agar petani yang ada bisa mendapatkan penyuluhan dari ahlinya. selain itu juga keluhan warga sudah disampaikan kepada anggota DPRD untuk pembangunan prasarana,"tuturnya.

Related

FICTURE 3935937146157709455

Posting Komentar

emo-but-icon

Hot in week

Recent

http://blognyadhedhykp.blogspot.com/2015/03/tracking-climbing-dan-caving-di-sawapudo.html

Comments

http://blognyadhedhykp.blogspot.com/2015/03/tracking-climbing-dan-caving-di-sawapudo.html

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item