Perusahan Sawit Rugikan Masyarakat Konawe

Pasca masuknya perusahan Kelapa Sawit di Kabupaten Konawe, ribuan hektar sawah gagal panen. Bahkan sungai, kali yang berada areal sawit me...

Pasca masuknya perusahan Kelapa Sawit di Kabupaten Konawe, ribuan hektar sawah gagal panen. Bahkan sungai, kali yang berada areal sawit menjadi tercemar. (foto/ dedy Kp)



    Kabupaten Konawe memiliki sumber daya alam yang memadai, sehingga tidak mengherankan jika Konawe menjadi tujuan investor untuk menanamkan modalnya.Tidak terkecuali di bidang perkebunan. Para investor berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan melalui kekayaan alam. Perkebunan kelapa sawit di Konawe kini telah merajai seluruh sektor bisnis di Kota Perisai tersebut, karena memang tanaman kelapa sawit sangat cocok tumbuh dan dibudidayakan di Konawe. Keberadaan perkebunan kelapa sawit di Konawe memang memberikan dampak positif seperti penghasilan masyarakat meningkat dan memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah berupa pajak perusahaan. Perkebunan kelapa sawit merupakan usaha perkebunan yang cukup menjanjikan bagi masyarakat sehingga tidak heran jika perluasan perkebunan kelapa sawit terus dilakukan.
    Namun dibalik dampak positif yang dihasilkan perkebunan kelapa sawit yang menggiurkan tersebut, ternyata berjuta-juta masalah selalu menghantui masyarakat dan para pemilik perkebunan kelapa sawit. Keberadaan kelapa sawit secara tidak langsung justru akan mengancam kelestarian lingkungan hidup di Konawe. Tanpa kita sadari, kelapa sawit lambat laun akan membawa dampak negatif yang cukup besar bagi kehidupan di Konawe. Betapa tidak, tanah yang pernah digunakan untuk menanam kelapa sawit akan sulit digunakan untuk bercocok tanam lagi karena akar kelapa sawit sulit untuk dihilangkan.
    Selain itu, kesuburan tanah pun akan turun drastis dan tentunya memutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulihkan kesuburan tanah yang telah hilang akibat penanaman kelapa sawit. Bahkan sungai-sungai di Konawe yang dulunya jernih kini menjadi keruh, akibatnya banyak ikan yang mati dan tidak lagi berkembang biak seperti biasanya.
    Kepala Dinas Kehunatan, Santoso tidak memungkiri hal tersebut. Dirinya menilai sungai-sungai besar yang melintasi wilayah Konawe saat ini mulai tercemar lumpur sehingga menjadi keruh, salah satunya sungai Konaweeha.
Pembukaan hutan secara menyeluruh sangat mempengaruhi ekosistem hutan sebagai penyanggga. Keberadaan sawit di sekitar sungai merupakan sebuah malapetaka, karena sawit merupakan golongan tanaman komoditas yang merusak konservasi ketersediaan air. "Sawit itu banyak menyerap air secara berlebihan, akibatnya sungai-sungai yang ada di Konawe, seperti Sungai Poahara sudah tidak jernih lagi, justru semakin keruh, apalagi ketika di musim penghujan," jelasnya.
    Tapi meskipun demikian, Santoso mengaku pihaknya tidak bisa berbuat banyak. Hal ini dikarenakan, Perkebunan Sawit masuk dalam kategori hutan hak. Sehingga Dishut Konawe, tidak bisa melakukan pelarangan, karena berdasarkan dalam Undang-undang nomor 41 tahun 1999 dan Undang-undang nomor 18 tahun 2013. "Dalam undang-undang tersebut sangat jelas disebutkan tentang pembagian zona, Kabupaten/Kota hanya diberi kewenangan untuk mengelola hutan rakyat. Sehingga dalam hal ini merupakan tanggungjawaab penuh Provinsi," katanya.
    Sementara itu, anggota Komisi II DPRD Konawe, Ginal Sambari menegaskan, selama melakukan kegiatan perkebunan beberapa perusahaan kelapa sawit tidak melakukan pemeliharaan hutan, bahkan hal ini luput dari pengawasan pihak terkait. "ini adalah kekurangan kita dalam hal pengawasan baik itu Pemda, pihak terkait, masyarakat begitu juga dengan DPRD Konawe sendiri. Sehingga kedepannya pengawasan ini bisa lebih ditingkat lagi agar hal ini tidak terjadi terus menerus, jika hal ini tidak disadari maka aktifitas perkebunan sawit bisa membahayakan kita semua," jelasnya.
    Dari beberapa perusahaan sawit yang beroperasi di Konawe, PT. Tani Prima Makmur (TPM) merupakan salah satu perusahaan yang kerap menuai sorotan, pasalnya sejak tahun 2014 hingga melakukan pembagian hasil yang tidak sesuai dengan Memorandum of Understanding (MoU) di tiga kecamatan diantaranya Kecamatan Amonggedo, Anggaberi dan Abuki.
    Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Jumardin mengatakan, perusahaan tersebut telah menyalahi aturan, ibarat lempar batu sembunyi tangan. Paslanya, saat pertemuan perusahaan itu tidak memberikan penjelasan yang akurat kepada masyarakat pemitra lahan, mengenai bunyi MoU pembagian hasil 65 persen perusahaan dan 35 persen pemilik lahan.
    "Perusahaan ini kami anggap sudah lama merugikan masyarakat bahkan memberikan pembodohan, khususnya di tiga kecamatan yang saat ini tanaman sawitnya sudah mulai produksi, bayangkan saja dari akhir tahun 2014 mengambil
hasil sampai saat ini pemilik lahan belum mendapatkan dana sepeserpun dari pembagian hasil sesuai MoU. Masyarakat disuruh buat forum sawit dan koprasi tiap kecamatan, alasannya setelah ada dana pembagian untuk masyarakat nantinya akan disimpan ke koprasi tersebut jika sudah terbentuk, mengapa bukan dari dulu di sampaikan saat masyarakat memitrakan lahannya, nanti sekarang karena masyarakat sudah pertanyakan dana pembagian hasilnya baru
muncul lagi pembicaraan seperti itu, regulasinya juga tidak jelas," tuturnya
    Munculnya permasalahan tersebut, membuat Bupati Konawe Kery Saiful Konggoasa terus menghimbau kepada masyarakat untuk tidak lagi memberikan lahannya kepada perusahaan sawit untuk digarap, sebab keuntungan yang diperoleh dari perkebunan sawit hampir tidak ada. "Saya sudah berapa kali ingatkan kepada masyarakat untuk tidak memberikan tanahnya kepada perusahaan sawit. Mending masyarakat menyiapkan tanahnya untuk membuka lahan persawahan, karena tahun 2016 Konawe dapat catah percetakan sawah 3000 hektar," tutupnya.
        Data yang berhasil dirilis di Dinas Pertanian Konawe menyebutkan 11 perusahaan swasta bidang perkebunan sawit di Konawe sudah mendapat HGU dan IUP dengan lokasi usaha perkebunan berbeda. Diantaranya PT. Tani Prima Makmur (TPM) yang total luasnya mencapai 15.500 hektar, yang meliputi pegunungan Anggaberi, Amonggedo, Meluhu dan Bondoala, dengan IUP per 15 Oktober 2011. PT. Utama Agrindo Emas (UAM). Luas lahan 7.700 hektar meliputi daerah Besulutu, Pondidaha dan Wonggeduku. Telah memperpanjang IUP per 16 Desember 2013. PT. Surya Jaya Agrindo Pratama (SJAP). Luas lahan 13.000 hektar, meliputi, Pondidaha, Wonggeduku, Lambuya dan Puriala. IUP diperpanjang per 3 Oktober 2011. PT. Harli Tama Makmur (HAM) seluas 12000 hektar, meliputi, Sampara, Besulutu, Bondoala dan Kapoiala. Juga telah memperpanjang IUP per 25 Juni 2012.
       Humas PT. TPM, Salam mengaku, selama ini pihaknya dalam menjalankan usaha tetap mengedepankan instrumen Amdal. Misalnya dengan memperhatikan batas ketinggian di bawah 40 derajat. Kemudian tidak melakukan penanaman di bawah 50 meter dari radius sempadan sungai. "Kita dalam menjalankan usaha tetap dalam pengawasan instansi tekhnis. Dan jika kita bermasalah pasti dinas terkait pasti sudah pernah menegur. Tetapi kenyataanya belum ada teguran," katanya
       Komitmen perusahaan, kata dia, sebelum dan setelah menjalankan usaha sesuai prasayarat yang pernah diajukan. Mulai dengan upaya konservasi, serta tanggungjawab sosialnya. Perusahaan juga kerap ikut berpartisipasi, misalnya  saat terjadi banjir. Dengan menurunkan sejumlah bantuan, tetapi melalui pemerintah setempat dalam bentuk kebutuhan pokok. Kemudian partisipasi dalam pembangunan, perusahaan menyumbang perbaikan jalan menuju perusahaan sampai ke perkebunan. Dan jalan tersebut sangat memudahkan masyarakat sekitar dalam memobilisasi hasil
pertaniannya. "Banyak lahan yang sekarang dijadikan perkebunan sawit yang dahulu ditanami tanaman produktif lain, seperti jambu mete dan kakao,"katanya.
    TPM satu-satunya perusahaan yang menanam rumput penyangga di dalam area perkebunan. Rumput penyangga tersebut berupa tanaman kacang-kacanangan. Tujuannya sebagai upaya konservasi untuk menghindari erosi. Setelah dilakukan pembukaan lahan. Menurutnya, berdasarkan luasan IUP perusahaan itu seluas 1325 hektar. Meliputi tujuh kecamatan, diantaranya Abuki dan Wawotobi. Tetapi tidak semuanya dapat dibuka. Hal ini karena lokasi pengunungan yang ketinggiannya di atas 40 derajat. "Ada sekitar 500 hektoare kita kembalikan ke masyarakat. Tetapi kita tidak bebankan masyarakat. Padahal konvensasinya sudah dibayarkan,"katanya.
    Salam menambahkan, pokok persoalan yang kerap terjadi hanyalah persoalan legalitas agraria. Namun bukan antar perusahaan dengan masyarakat. Melainkan antarpemilik tanah. Sejak masuknya perusahaan mengajak masyarakat untuk memitrakan lahannya . Terkadang menyisahkan masalah, terjadi saling klaim yang rata-rata masih dalam lingkaran keluarga. Lahan tersebut pada umumnya tanah adat yang diwariskan turun temurun. Tetapi kerap juga menuai masalah antarsanak saudara. (dedi finafiskar)

Related

PERTANIAN 5452811102690731358

Posting Komentar

emo-but-icon

Hot in week

Recent

http://blognyadhedhykp.blogspot.com/2015/03/tracking-climbing-dan-caving-di-sawapudo.html

Comments

http://blognyadhedhykp.blogspot.com/2015/03/tracking-climbing-dan-caving-di-sawapudo.html

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item